kalau di lihat secara umum pengertian fatsoen politik adalah mengacu pada suatu proses atau
aktifitas politik yang mengandung asa-asas etika keadaban, tatakrama,
dan tanggung jawab dalam bingkai kesetaraan dan penghormatan kepada
sesama pelaku politik. Artinya, pada tataran praksis pola perilaku
personal maupun institusional dari aktor-aktor politik selalu menjunjung
tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang berbasiskan
integritas moral, dan konsistensi politik.
Para politisi sebagai aktor memahami dan mengamalkan fatsoen politik dan tidak mendewakan kekuasaan. Kekuasaan bukan tujuan akhir perjuangan politik, tapi lebih difungsikan sebagai sarana guna memfasilitasi tumbuhnya politik yang mensejahterakan rakyat sebagai pemilik absah mandat berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok politik yang berseberangan secara politik maupun ideologis tidak pula dianggap sebagai musuh yang harus dibinasakan sampai ke akar-akarnya. Namun lebih diposisikan sebagai mitra yang setara dalam suatu proses kompetisi demokrasi yang sehat.
Tokoh-tokoh partai Islam terbesar masa itu seperti Mohammad Natsir, Sukiman, dan Mohammad Roem dkk bergaul dan berteman baik dengan tokoh partai Katolik IJ Kasimo dkk dalam semangat kebersamaan dan kebangsaan. Perilaku politik luhur ini bukan sekadar ilusi, tapi dipraktikkan dalam tataran realitas politik konkret dalam Pemilu 1955.
Pemilu pertama itu adalah pemilu yang paling bersih dan demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Kualitas pemilu yang demikian tidak mungkin dihasilkan dari sebuah milieu politik yang minus moral dan etika politik seperti pemilu-pemilu Indonesia selanjutnya.
Diwarnai dakwa-dakwi
Solusi atas perbedaan tidak diarahkan menuju titik temu konsesus politik yang konstruktif positif, dalam bingkai keislaman dan keacehan yang dapat diterima semua pihak. Semestinya dibangun kompromi politik berbasis kearifan lokal dalam duek pakat. Sayangnya yang sering dipertontonkan adalah duek meukap-kap sesama elit.
Selemak kisruh pilkada Aceh setahun terakhir ini adalah cerminan budaya politik yang nir fatsoen politik. Atraksi akrobat politik antara DPRA yang dimotori PA vis avis kubu eksekutif yang dipimpin Irwandi, yang notabene sama-sama berasal dari rahim perjuangan GAM, telah menguras energi dan waktu elit yang seharusnya mensejahterakan rakyat korban multi bencana, mulai dari konflik, tsunami, serta korupsi. Tontonan politik yang disuguhkan sungguh tidak memberi pendidikan politik kepada rakyat.
Semua itu menegaskan fenomena faktual hilangnya fatsoen politik di panggung kekuasaan legislatif dan eksekutif. Beragam pernyataan politik insinuatif, prejudis, provokatif yang saling menjatuhkan, sampai pada aksi demonstrasi massa ‘rakyat’ menolak pilkada. Dilanjutkan dengan saling gugat di MK, satu pihak minta pilkada ditunda, dan pihak lain minta terus berlanjut. Semua tindakan diarahkan untuk mendelegitimasi lawan politik.
Beberapa alasan
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, adalah apa yang mendasari hilangnya fatsoen politik di kalangan elit politik Aceh? Beberapa alasan sosio historis dan kultural di bawah ini mungkin menjelaskan persoalan ini. Pertama, dinul Islam belum melembaga dan difungsikan sebagai parameter perpolitikan elit-elit di Aceh. Tamadun Islam telah hilang ruhnya dalam pusaran perpolitikan di bumi Serambi Mekkah.
Misi kerakyatan (propoor) elit telah terkontaminasi oleh unsur politik pragmatisme. Motivasi masuk ke dalam sistem terkesan lebih dimotivasi faktor Innova atau double cabin, ketimbang untuk merealisasikan janji-janji semasa kampanye untuk mensejahterakan rakyat. Inilah potret buram peta politik di Tanah Rencong hari ini, di tengah proses uji coba dan kerja keras menuju syariatnisasi kehidupan sosial politik.
Kedua, pasca MoU Helsinki telah melahirkan euforia politik lokal, terutama hadirnya partai politik (parpol) berbasis lokal di Aceh. Telah melahirkan sejumlah politisi dadakan, yang sebelumnya hanya dinikmati segelintir elit parpol berbasis nasional warisan Orde Baru. Aktor-aktor politisi baru ini terdiri dari para mantan kombatan GAM telah mendominasi struktur politik lokal, di parlemen (DPRA) maupun di eksekutif (kepala daerah).
Lapisan elit politik baru ini secara visi politik masih dalam proses metamorfose dari mental perang (fighter mindset) menuju politisi sipil profesional. Sudah menjadi kelaziman lapisan politisi dengan latar mantan gerilyawan memiliki gaya negosiasi dan pendekatan politik yang masih diwarnai pola militeris.
Ketiga, sejarah politik Aceh sarat episode konflik, baik berskala horizontal (revolusi sosial) maupun vertikal (DI/TII dan GAM). Suasana lingkungan perang dibelahan dunia mana pun, selalu diliputi idiom-idiom kekerasan politik lebih mengemuka dan menenggelamkan peluang terbangunnya diskursus politik bernuansa intelektual yang mencerahkan.
Kondisi inilah yang bertahun-tahun telah menyandera demokratisasi politik Aceh yang menghambat tampilnya kalangan intelektual muda di garda depan perpolitikan Aceh pascakonflik. Dominasi dan hegemoni kalangan mantan kombatan adalah suatu konsekuensi logis dari fenomena tersebut.
Keempat, faktor lemahnya daya tawar politik masyarakat sipil pengusung ideologi populis, seperti pembelaan HAM dan penyelamatan lingkungan. Sehingga upaya menekan secara politik atas partai-partai mainstream membangun politik bersih seperti pemberantasan KKN atau persekongkolan politisi dan pemilik modal. Lemahnya posisi tawar ini, telah membawa beberapa tokoh yang penuh talenta politik, melakukan migrasi politik menjadi elit partai mainstream.
Faktor terakhir, minimnya kontribusi ulama dalam konstelasi politik lokal Aceh pascakonflik. Telah menghambat tumbuh dan berkembangnya fatsoen politik yang bertamadun Islam. Terpinggirnya komunitas religius ini, buah strategi politik kooptasi Orde Baru atas sebagian ulama ke dalam satu parpol tertentu. Akibatnya, sekarang ini sulit mencari ulama kharismatis sekaliber ulama-ulama produk PUSA yang mampu mendisain sistem baru. Sama sulitnya membangun fatsoen politik Aceh sekarang ini.
sumber: oleh Bpk.Oleh Sahari Ganie
pemerhati politik
Para politisi sebagai aktor memahami dan mengamalkan fatsoen politik dan tidak mendewakan kekuasaan. Kekuasaan bukan tujuan akhir perjuangan politik, tapi lebih difungsikan sebagai sarana guna memfasilitasi tumbuhnya politik yang mensejahterakan rakyat sebagai pemilik absah mandat berbangsa dan bernegara. Kelompok-kelompok politik yang berseberangan secara politik maupun ideologis tidak pula dianggap sebagai musuh yang harus dibinasakan sampai ke akar-akarnya. Namun lebih diposisikan sebagai mitra yang setara dalam suatu proses kompetisi demokrasi yang sehat.
Potret konstruksi politik Indonesia pada fase awal periode kemerdekaan Indonesia tahun 1950-an cerminan eksistensi fatsoen politik difungsikan sebagai kompas dan fondasi berpolitik elit nasional di masa itu. Dinamika komunikasi politik antar sesama elit partai ketika itu sangat harmonis, meskipun perspektif visi ideologis bersebrangan secara diametral.
Tokoh-tokoh partai Islam terbesar masa itu seperti Mohammad Natsir, Sukiman, dan Mohammad Roem dkk bergaul dan berteman baik dengan tokoh partai Katolik IJ Kasimo dkk dalam semangat kebersamaan dan kebangsaan. Perilaku politik luhur ini bukan sekadar ilusi, tapi dipraktikkan dalam tataran realitas politik konkret dalam Pemilu 1955.
Pemilu pertama itu adalah pemilu yang paling bersih dan demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Kualitas pemilu yang demikian tidak mungkin dihasilkan dari sebuah milieu politik yang minus moral dan etika politik seperti pemilu-pemilu Indonesia selanjutnya.
Diwarnai dakwa-dakwi
Sedangkan dinamika perpolitikan di Aceh sekarang ini, terlihat hampa fatsoen politik. Lebih banyak diwarnai proses dakwa-dakwi yang mendistorsi prinsip-prinsip demokrasi dan asas mufakat yang Islami. Dalam mencari solusi atas berbagai persoalan politik cenderung disikapi secara vulgar dan kurang ramah atas kritik.
Solusi atas perbedaan tidak diarahkan menuju titik temu konsesus politik yang konstruktif positif, dalam bingkai keislaman dan keacehan yang dapat diterima semua pihak. Semestinya dibangun kompromi politik berbasis kearifan lokal dalam duek pakat. Sayangnya yang sering dipertontonkan adalah duek meukap-kap sesama elit.
Selemak kisruh pilkada Aceh setahun terakhir ini adalah cerminan budaya politik yang nir fatsoen politik. Atraksi akrobat politik antara DPRA yang dimotori PA vis avis kubu eksekutif yang dipimpin Irwandi, yang notabene sama-sama berasal dari rahim perjuangan GAM, telah menguras energi dan waktu elit yang seharusnya mensejahterakan rakyat korban multi bencana, mulai dari konflik, tsunami, serta korupsi. Tontonan politik yang disuguhkan sungguh tidak memberi pendidikan politik kepada rakyat.
Semua itu menegaskan fenomena faktual hilangnya fatsoen politik di panggung kekuasaan legislatif dan eksekutif. Beragam pernyataan politik insinuatif, prejudis, provokatif yang saling menjatuhkan, sampai pada aksi demonstrasi massa ‘rakyat’ menolak pilkada. Dilanjutkan dengan saling gugat di MK, satu pihak minta pilkada ditunda, dan pihak lain minta terus berlanjut. Semua tindakan diarahkan untuk mendelegitimasi lawan politik.
Beberapa alasan
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, adalah apa yang mendasari hilangnya fatsoen politik di kalangan elit politik Aceh? Beberapa alasan sosio historis dan kultural di bawah ini mungkin menjelaskan persoalan ini. Pertama, dinul Islam belum melembaga dan difungsikan sebagai parameter perpolitikan elit-elit di Aceh. Tamadun Islam telah hilang ruhnya dalam pusaran perpolitikan di bumi Serambi Mekkah.
Misi kerakyatan (propoor) elit telah terkontaminasi oleh unsur politik pragmatisme. Motivasi masuk ke dalam sistem terkesan lebih dimotivasi faktor Innova atau double cabin, ketimbang untuk merealisasikan janji-janji semasa kampanye untuk mensejahterakan rakyat. Inilah potret buram peta politik di Tanah Rencong hari ini, di tengah proses uji coba dan kerja keras menuju syariatnisasi kehidupan sosial politik.
Kedua, pasca MoU Helsinki telah melahirkan euforia politik lokal, terutama hadirnya partai politik (parpol) berbasis lokal di Aceh. Telah melahirkan sejumlah politisi dadakan, yang sebelumnya hanya dinikmati segelintir elit parpol berbasis nasional warisan Orde Baru. Aktor-aktor politisi baru ini terdiri dari para mantan kombatan GAM telah mendominasi struktur politik lokal, di parlemen (DPRA) maupun di eksekutif (kepala daerah).
Lapisan elit politik baru ini secara visi politik masih dalam proses metamorfose dari mental perang (fighter mindset) menuju politisi sipil profesional. Sudah menjadi kelaziman lapisan politisi dengan latar mantan gerilyawan memiliki gaya negosiasi dan pendekatan politik yang masih diwarnai pola militeris.
Ketiga, sejarah politik Aceh sarat episode konflik, baik berskala horizontal (revolusi sosial) maupun vertikal (DI/TII dan GAM). Suasana lingkungan perang dibelahan dunia mana pun, selalu diliputi idiom-idiom kekerasan politik lebih mengemuka dan menenggelamkan peluang terbangunnya diskursus politik bernuansa intelektual yang mencerahkan.
Kondisi inilah yang bertahun-tahun telah menyandera demokratisasi politik Aceh yang menghambat tampilnya kalangan intelektual muda di garda depan perpolitikan Aceh pascakonflik. Dominasi dan hegemoni kalangan mantan kombatan adalah suatu konsekuensi logis dari fenomena tersebut.
Keempat, faktor lemahnya daya tawar politik masyarakat sipil pengusung ideologi populis, seperti pembelaan HAM dan penyelamatan lingkungan. Sehingga upaya menekan secara politik atas partai-partai mainstream membangun politik bersih seperti pemberantasan KKN atau persekongkolan politisi dan pemilik modal. Lemahnya posisi tawar ini, telah membawa beberapa tokoh yang penuh talenta politik, melakukan migrasi politik menjadi elit partai mainstream.
Faktor terakhir, minimnya kontribusi ulama dalam konstelasi politik lokal Aceh pascakonflik. Telah menghambat tumbuh dan berkembangnya fatsoen politik yang bertamadun Islam. Terpinggirnya komunitas religius ini, buah strategi politik kooptasi Orde Baru atas sebagian ulama ke dalam satu parpol tertentu. Akibatnya, sekarang ini sulit mencari ulama kharismatis sekaliber ulama-ulama produk PUSA yang mampu mendisain sistem baru. Sama sulitnya membangun fatsoen politik Aceh sekarang ini.
sumber: oleh Bpk.Oleh Sahari Ganie
pemerhati politik
0 komentar:
Posting Komentar